Kalau
kita memikirkan pertanyaan ini dengan logis, secara nyata kita tidak dapat
menghapus dosa kita dengan amal atau perbuatan baik kita. Dalam kata lain kita tidak bisa mensucikan
diri dengan usaha diri sendiri.
Bayangkan perumpamaan ini: tangan
seorang tukang reparasi mesin di bengkel pada ahkir hari kerjanya: hitam, bau
dan berminyak, bukan? Bagaimana kalau
dia berusaha mencuci tangannya memakai air kran saja? Dia menggosok dan menyikat tangannya namun
tetap kotor sekali. Dia sungguh-sungguh
ingin membersihkan tangannya sampai tangannya menjadi merah dan sakit, namun
walaupun dia berusaha semaksimal mungkin, tangannya tetap kotor. Apa yang dia perlukan? Sesuatu dari luar, yaitu sabun, bukan? Begitu juga dengan hidup kita yang
berdosa. Usaha kita yang paling baik,
misalnya hidup bersusila, menolong sesama, beribadah dan berdoa setiap hari
adalah kegiatan yang baik, namun tidak akan menghasilkan pengampunan dosa. Hanya Tuhan Allah yang dapat mengampuni dan
menghapus dosa.
Di dunia hukum, kelakuan baik tidak dapat menghapus kesalahan. Kalau seorang yang baik, yang sering beramal, menolong orang yang kecil, namun membunuh orang lain karena marah, apakah Bapak Hakim akan menghapus pembunuhan ini dikarenakan oleh dia dulu bersusila tinggi? Memang tidak, dia tetap harus dihukum sebagai pembunuh. Apabila dia berjanji berbuat baik pada sisa hidupnya dia tetap dianggap hukum sebagai pembunuh. Di Kitab Injil: Markus 7: 20-23, Isa berfirman bahwa semua jenis dosa menajiskan kita dihadapan Tuhan Allah. Dalam akibat ini, iri hati dinilai sama dengan pembunuhan. Sama seperti di dalam hukum di mana kelakuan buruk tidak dapat dihapus oleh kelakuan baik. Lagi pula kenajisan kita yang dikarenakan dosa kita, tidak dapat dihapus oleh kebajikan yang dulu atau di masa depan.
Mengapa amal dan perbuatan baik kita
tidak layak untuk membuat Tuhan Allah mau mengampuni dosa kita?
Kalau
semua kegiatan kebenaran ini dibuat supaya Tuhan mau mengampuni dosa kita, maka
semuanya tidak murni dan tulus lagi, namun telah ternoda sehingga memberi kesan
"ada udang dibalik batu", yaitu kita berbuat kebenaran untuk
mendapatkan keuntungan diri kita sendiri, berupa pengampunan. Dengan kata lain kebenaran yang kita buat
bukan untuk memuliakan Tuhan Allah tetapi semata-mata untuk kepentingan/
kebaikan kita. Lebih berat lagi kalau
kita berbuat baik untuk mencari pujian dan menharap penghormatan dari orang
lain. Bayangkan, bagaimana perasaan
Tuhan kalau ada seseorang yang beri sumbangan besar asal namanya diumumkan di
dalam kebaktian jemaat. Tuhan Allah tahu tujuan hati kita walaupun orang-orang
di sekitar kita tidak tahu.
Tuhan
Allah juga tahu keinginan di hati setiap orang.
Ada orang yang hanya berbuat baik dan menghindari hal-hal yang tidak
susila karena takut dihukum. Mungkin dia
takut dipermalukan oleh masyarakat, aparat pemerintah atau Tuhan. Kalau kesusilaan kita dipaksakan dari atas dan
tidak mencerminkan hati kita sendiri, apakah Tuhan akan berkenan? Mungkin seseorang di lingkungannya sendiri
sangat taat pada semua peraturan agama.
Tetapi kalau dia pergi ke negara asing dimana dia tidak dikenal siapapun
dan peraturan itu tidak menjadi hukum, bagaimana sikap atau kelakuannya? Kalau dia mulai melanggar peraturan-peraturan
agamanya, berarti kelakuannya di tempat asalnya dulu cuma sandiwara dihadapan
masyarakatnya dan tokoh-tokoh agama.
Kalau
amal kita mencari keuntungan dari orang-orang atau Tuhan, atau kesusilaan kita
hanya untuk menghindar hukuman kelak, amal dan kesusilaan kita akan ternoda
dihadapan Tuhan. Nabi Yesaya (64:6)
menyamakan kesalehan orang berdosa dengan "kain-kain kotor".
Mungkin sekali yang dimaksudkannya seperti kain bekas haid yang sangat
najis itu. Kembali kepada perumpamaan
kita, bayangkan si tukang bengkel tadi itu mencoba mencuci tangannya yang kotor
memakai kain bekas haid! Itulah
pandangan Tuhan kalau kita mencoba mensucikan diri dengan kesalehan kita
sendiri.
Semoga Tuhan Memberkati Saudara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar